Ketika
mengenang pengalaman belajar sejak tingkat TK / SD sampai SLTA, yang muncul
adalah sosok bapak dan ibu guru yang mengesankan dan menorehkan kenangan manis
di benak saya, bukannya kurikulum dan mata pelajarannya.
Jadi,
sosok guru jauh lebih berpengaruh ketimbang mata pelajaran, bahkan fasilitas
sekolahnya. Dalam berbagai workshop pendidikan saya sering bertanya kepada para
peserta: sebutkan nama bapak atau ibu guru yang paling berkesan dan memengaruhi
perjalanan hidup Anda.
Di
situ terlihat, ada peserta yang dengan lancar menyebut nama-nama guru yang
mengesankan dan memengaruhi kepribadiannya yang masih dikenang sampai sekarang.
Namun ada pula peserta yang sulit dan ragu-ragu mengingat guru-guru yang
meninggalkan kesan mendalam. Sewaktu di pesantren saya pernah membaca kalimat: Atthoriqotu
ahammu minal maddah Wal muallim ahammu min atthoriqoh. Bahwa cara dan seni
mengajar itu lebih penting dari materi pelajarannya. Namun guru lebih penting
dari metode mengajar. Artinya, sebaik apa pun kurikulum, yang menentukan
keberhasilan pendidikan itu kualitas gurunya. Di tangan guru yang baik dan
andal, pelajaran apa pun jadi menarik dan efektif memengaruhi anak didik.
Bahkan
tempat belajar tidak mesti yang mewah. Guru yang menguasai bahan ajar dan
kreatif bisa menggunakan lingkungannya sebagai bahan dan medium pembelajaran.
Saya punya pengalaman sewaktu belajar di pesantren dengan fasilitas yang sangat
sederhana dengan menggunakan ruangan di serambi masjid lalu dibuat sekat
pembatas.
Di
situ ada papan tulis, meja, dan bangku belajar. Tapi guru-gurunya sangat serius
dan disiplin mengajar. Kami bermain voli, tenis meja, dan sepak bola di halaman
masjid. Masjid dan sekitarnya menjadi pusat bagi para santri membangun learning
community. Almarhum Kiai Hamam Jafar mengatakan, halaman masjid itu belum Islam
sebelum dibuat bersih, asri, dan dimanfaatkan dengan baik.
Batu
dan pasir di sungai dekat pesantren juga diislamkan dengan memanfaatkannya
untuk membuat gedung sekolah secara gotong-royong antara santri dan penduduk
desa. Kiai Hamam mengajarkan konsep dan ekspresi keberislaman dengan menanamkan
rasa cinta pada ilmu dan peduli lingkungan alam maupun sosial. Ketika ujian
kenaikan kelas tak perlu diawasi, padahal soal ujian cukup berat.
Berbohong
waktu ujian itu mengotori jiwa, merendahkan martabat diri dan melakukan
penipuan sosial. Yang tidak siap ikut ujian dengan jujur disarankan tidak usah
ikut ujian. Ujian itu untuk naik jenjang dan kalau dilakukan dengan curang sama
saja malah menurunkan kualitas dan harga dirinya. Jadi, ketika saya belajar,
yang lebih terasa itu sentuhan jiwa.
Jiwanya yang diisi, baru kemudian informasi keilmuan. Ini hanya bisa dilakukan oleh guru-guru yang kreatif, kaya dengan metode dan memiliki karakter serta mencintai profesinya. Guruguru atau pendidik seperti ini yang mestinya dibentuk dan dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Belajar itu tidak sekadar menghimpun informasi keilmuan untuk dihafal sebagai amunisi menjawab ulangan/ ujian.
Jiwanya yang diisi, baru kemudian informasi keilmuan. Ini hanya bisa dilakukan oleh guru-guru yang kreatif, kaya dengan metode dan memiliki karakter serta mencintai profesinya. Guruguru atau pendidik seperti ini yang mestinya dibentuk dan dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Belajar itu tidak sekadar menghimpun informasi keilmuan untuk dihafal sebagai amunisi menjawab ulangan/ ujian.
Idealnya
juga mengetahui bagaimana proses awal sebuah dalil kebenaran itu ditemukan dan
diformulasikan. Dengan mengetahui proses dan argumentasi rasionalnya, seorang
murid didorong untuk membuat formula baru yang bobot kebenarannya sama. Inilah
yang disebut mengenalkan dan membentuk sikap ilmiah kepada siswa.
Suatu
hari sambil kerja bakti membersihkan halaman masjid, Kiai menunjuk sebuah parit
kecil dengan airnya yang mengalir deras. Dia mengajari saya tentang hidup
dengan sebuah pertanyaan. Coba perhatikan, apa yang akan terjadi jika air itu menggenang,
tidak bergerak? Pasti akan mengundang nyamuk, menimbulkan penyakit dan membuat
kotor.
Pak
Kiai sebagai guru kehidupan menyampaikan sebuah pesan yang kemudian menjadi
virus yang tak pernah mati dalam diriku, hidup itu harus bergerak mengalir menuju
citacita. Jangan pernah berhenti belajar dan berkarya karena akan mengundang
nyamuk dan penyakit seperti dikatakan dalam Alquran: Faidza faroghta fanshob.
Wa ila robbika farghop.
Jangan pernah berhenti setelah selesai menunaikan satu tugas dan semua yang kamu lakukan itu serahkan kepada Tuhanmu. Bukan mencari pujian dari manusia. Demikianlah, setelah sekian puluh tahun meninggalkan pesantren, saya masih teringat wajah satu-satu guru yang mengesankan yang pernah mengajar dan telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya.
Mereka menanamkan virus dan etos belajar sehingga hidup adalah serangkaian pembelajaran baik di ruang kelas maupun di luarnya. Setiap saat terbuka buku kehidupan untuk dibaca, dipelajari, dan diambil pesan dan hikmahnya untuk memperkaya kehidupan itu sendiri.
Jangan pernah berhenti setelah selesai menunaikan satu tugas dan semua yang kamu lakukan itu serahkan kepada Tuhanmu. Bukan mencari pujian dari manusia. Demikianlah, setelah sekian puluh tahun meninggalkan pesantren, saya masih teringat wajah satu-satu guru yang mengesankan yang pernah mengajar dan telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya.
Mereka menanamkan virus dan etos belajar sehingga hidup adalah serangkaian pembelajaran baik di ruang kelas maupun di luarnya. Setiap saat terbuka buku kehidupan untuk dibaca, dipelajari, dan diambil pesan dan hikmahnya untuk memperkaya kehidupan itu sendiri.
Kita
semua menerima warisan deposito moral dan pengetahuan dari orang tua dan pada
gilirannya kita juga harus melakukan reinvestasi agar bisa memberikan warisan
moral dan ilmu pengetahuan kepada anak-cucu kita. Kita semua adalah murid dan
guru kehidupan untuk diri sendiri dan keluarga terdekat. Syukur-syukur jadi
guru untuk masyarakat lebih luas lagi.
Terima kasih bapak-ibu guru yang telah mengenalkan kepada kita semua dunia yang sedemikian luas dan kompleks. Yang telah membekali agar bisa berdiri dengan tegak, percaya diri, dan berintegritas. Yang mengajarkan dan mengantarkan anak-anak muridnya untuk memasuki kehidupan baru di masa depan yang belum pernah mereka alami.
Terima kasih bapak-ibu guru yang telah mengenalkan kepada kita semua dunia yang sedemikian luas dan kompleks. Yang telah membekali agar bisa berdiri dengan tegak, percaya diri, dan berintegritas. Yang mengajarkan dan mengantarkan anak-anak muridnya untuk memasuki kehidupan baru di masa depan yang belum pernah mereka alami.
Prof. DR. Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar