Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan antara “alladzina aamanuu” dengan “amilus shalihat.” Hal ini mengandung faidah bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.
Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at (kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’ Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.
Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).
Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).
Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.
Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.
Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, “Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya sendiri.”
Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out, mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis Madjid, 1999 : 186-187)
Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 “Katakanlah (Muhammad), “wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.”
Drs H Hamzah Ya’kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain : manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan, ‘Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).
Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.
Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan sosial kita (social intellegience). Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudara-saudara kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai memberikan ultimatum: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang lain, maka dia bukan dari golongan mereka.”
Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at (kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’ Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.
Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).
Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).
Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.
Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.
Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, “Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya sendiri.”
Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out, mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis Madjid, 1999 : 186-187)
Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 “Katakanlah (Muhammad), “wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.”
Drs H Hamzah Ya’kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain : manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan, ‘Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).
Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.
Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan sosial kita (social intellegience). Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudara-saudara kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai memberikan ultimatum: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang lain, maka dia bukan dari golongan mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar