Ketika Rasulullah SAW menyuruh para sekretarisnya mencatat ayat-ayat Alquran dan surat-surat perjanjian, pada saat itu sebetulnya beliau tengah menekankan pentingnya dokumentasi. Ketika para sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin menuliskan sabdasabda Nabi dan menghimpunnya dalam kitab-kitab hadis, mereka tengah menyadari pentingnya dokumentasi.
Ketika para khalifah Islam membangun perpustakaan, menyimpan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa non-Arab, mereka juga tengah meneguhkan pentingnya dokumentasi.
Mengapa kaum Muslim berjaya pada masa lalu? Itu karena, mereka memiliki dokumentasi yang lengkap tentang catatan-catatan peradaban, baik pada masa Islam maupun sebelumnya, baik dari negeri-negeri Islam maupun dari negeri-negeri di luarnya. Keruntuhan Islam dimulai persis ketika pusat-pusat dokumentasi itu hancur akibat serbuan tentara Mongol.
Buku-buku dan koleksi lain yang disimpan di dalamnya hilang, terbakar, atau dibuang ke sungai sehingga konon air sungai di Bagdad hitam pekat oleh tinta.
Meski kemudian tentara Mongol dapat diusir kembali, umat Islam sulit bangkit dari kejatuhannya karena catatan-catatan pengetahuan mereka telah dilenyapkan.
Kita juga patut mencatat, mengapa sejak tiga abad lalu Barat lebih maju daripada Islam. Itu karena mereka melakukan dokumentasi. Mereka memiliki simpanan naskah-naskah, arsip-arsip, maupun benda-benda bersejarah dari seluruh dunia.
Kita tahu banyak naskah kuno dan benda berharga warisan budaya Indonesia justru disimpan di perpustakaan/museum Belanda dan negara-negara Barat lain.
Oleh karena itu, dokumentasi menempati titik sentral bagi majunya suatu peradaban. Dokumentasi bisa dilakukan oleh individu, organisasi, maupun negara. Tapi sayangnya, pusatpusat dokumentasi di negara kita masih sangat minim.
Perpustakaan, taman bacaan, museum, dan pusat arsip yang ada pun kondisinya memprihatinkan, baik dari kuantitas, koleksi, maupun dari jumlah pengunjung.
Perpustakaan di universitas atau sekolah mungkin agak mendingan, tapi perpustakaan di kantor-kantor instansi, masjid, ataupun di tempat umum hampir semuanya bernasib sama, sepi pengunjung. Sepi pengunjung berarti sepi pembaca.
Namun, betapa pun pentingnya dokumentasi, itu baru langkah awal. Melakukan dokumentasi semata tidak lantas membuat sebuah bangsa menjadi maju peradabannya. Dokumentasi harus diikuti oleh langkah selanjutnya, yaitu membaca, menelaah, memaknai, dan menciptakan karya baru.
Warisan masa lalu jangan dibiarkan usang. Pelajari, maknai, dan ciptakan kembali dalam bentuk dan semangat yang sesuai untuk zaman berjalan. Dengan itulah, suatu bangsa akan mengalami kemajuan.
Oleh karena itu, jika akhir-akhir ini terdengar isu ada sebuah pusat dokumentasi yang terancam ditutup, barangkali itu tidak semata kesalahan pemerintah. Kita jugalah yang jarang mengunjunginya, sehingga pihak yang berwenang lupa bahwa tempat tersebut ada dan patut dilestarikan.
Ketika para khalifah Islam membangun perpustakaan, menyimpan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa non-Arab, mereka juga tengah meneguhkan pentingnya dokumentasi.
Mengapa kaum Muslim berjaya pada masa lalu? Itu karena, mereka memiliki dokumentasi yang lengkap tentang catatan-catatan peradaban, baik pada masa Islam maupun sebelumnya, baik dari negeri-negeri Islam maupun dari negeri-negeri di luarnya. Keruntuhan Islam dimulai persis ketika pusat-pusat dokumentasi itu hancur akibat serbuan tentara Mongol.
Buku-buku dan koleksi lain yang disimpan di dalamnya hilang, terbakar, atau dibuang ke sungai sehingga konon air sungai di Bagdad hitam pekat oleh tinta.
Meski kemudian tentara Mongol dapat diusir kembali, umat Islam sulit bangkit dari kejatuhannya karena catatan-catatan pengetahuan mereka telah dilenyapkan.
Kita juga patut mencatat, mengapa sejak tiga abad lalu Barat lebih maju daripada Islam. Itu karena mereka melakukan dokumentasi. Mereka memiliki simpanan naskah-naskah, arsip-arsip, maupun benda-benda bersejarah dari seluruh dunia.
Kita tahu banyak naskah kuno dan benda berharga warisan budaya Indonesia justru disimpan di perpustakaan/museum Belanda dan negara-negara Barat lain.
Oleh karena itu, dokumentasi menempati titik sentral bagi majunya suatu peradaban. Dokumentasi bisa dilakukan oleh individu, organisasi, maupun negara. Tapi sayangnya, pusatpusat dokumentasi di negara kita masih sangat minim.
Perpustakaan, taman bacaan, museum, dan pusat arsip yang ada pun kondisinya memprihatinkan, baik dari kuantitas, koleksi, maupun dari jumlah pengunjung.
Perpustakaan di universitas atau sekolah mungkin agak mendingan, tapi perpustakaan di kantor-kantor instansi, masjid, ataupun di tempat umum hampir semuanya bernasib sama, sepi pengunjung. Sepi pengunjung berarti sepi pembaca.
Namun, betapa pun pentingnya dokumentasi, itu baru langkah awal. Melakukan dokumentasi semata tidak lantas membuat sebuah bangsa menjadi maju peradabannya. Dokumentasi harus diikuti oleh langkah selanjutnya, yaitu membaca, menelaah, memaknai, dan menciptakan karya baru.
Warisan masa lalu jangan dibiarkan usang. Pelajari, maknai, dan ciptakan kembali dalam bentuk dan semangat yang sesuai untuk zaman berjalan. Dengan itulah, suatu bangsa akan mengalami kemajuan.
Oleh karena itu, jika akhir-akhir ini terdengar isu ada sebuah pusat dokumentasi yang terancam ditutup, barangkali itu tidak semata kesalahan pemerintah. Kita jugalah yang jarang mengunjunginya, sehingga pihak yang berwenang lupa bahwa tempat tersebut ada dan patut dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar