Ihya Ulumuddin Emgee sang "Science Hunter"
Hakikat pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. (pasal 1 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003).
Sedangkan Fungsi Pendidikan Nasional:Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003, tertulis: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis dalam pasal yang sama (pasal 3) dengan tujuan pendidikan nasional, tertulis : “... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Selanjutnya mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat (2) menggariskan bahwa:“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional (pasal 31 ayat (2)) dan “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” (Pasal 32). Ini berarti bahwa dalam proses transformasi budaya, perilaku hidup sosial kemasyarakatan yang kelak akan dilakoni oleh siswa; kedudukan sekolah sangatlah strategis untuk merealisasikan hakikat dan tujuan pendidikan nasional seperti yang dikehendaki undang-undang tersebut di atas. Tetapi sayang sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk “mendengar, mencatat, dan menghafal”. Suatu tradisi
sekolah yang dijaman penjajahan merupakan tradisinya sekolah untuk kaum pribumi, yaitu Sekolah Desa, dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Sukarno, Hatta, Syahrir, KH. Noer Alie dan para “Founding
Fathers” sebagai pemikir dan pembaharu.
Memasuki abad ke-21 kita memiliki UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan Soedijarto memuat filosofi pendidikan yang memungkinkan sekolah dapat berperanan sebagai pusat pembudayaan dan mendudukkan guru untuk berperanan ikut “moulding the craracters and mind of the young generation”. Secara umum untuk menerjemahkan sekolah sebagai pusat pembudayaan dan membangun peradaban, maka posisi guru sangat strategis untuk memainkan peran dan tugas keprofesionalan untuk turut memodeling seluruh potensi peserta didik dari berbagai latar belakang, suku, ras, budaya dan agama peserta didik.
Hal tersebut di atas oleh Soedijarto dalam materi perkuliahan dapat dijelaskan sebagai “the learning proses” yaitu:
1. Guru harus memiliki kemampuan merencanakan pembelajaran (membuat SAP, GBPP dan sebagainya).
2. Guru harus memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran (konten, isi, materi).
3. Guru harus memiliki kemampuan management (pengelolaan kelas).
Hakikat pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. (pasal 1 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003).
Sedangkan Fungsi Pendidikan Nasional:Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003, tertulis: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis dalam pasal yang sama (pasal 3) dengan tujuan pendidikan nasional, tertulis : “... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Selanjutnya mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat (2) menggariskan bahwa:“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional (pasal 31 ayat (2)) dan “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” (Pasal 32). Ini berarti bahwa dalam proses transformasi budaya, perilaku hidup sosial kemasyarakatan yang kelak akan dilakoni oleh siswa; kedudukan sekolah sangatlah strategis untuk merealisasikan hakikat dan tujuan pendidikan nasional seperti yang dikehendaki undang-undang tersebut di atas. Tetapi sayang sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk “mendengar, mencatat, dan menghafal”. Suatu tradisi
sekolah yang dijaman penjajahan merupakan tradisinya sekolah untuk kaum pribumi, yaitu Sekolah Desa, dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Sukarno, Hatta, Syahrir, KH. Noer Alie dan para “Founding
Fathers” sebagai pemikir dan pembaharu.
Memasuki abad ke-21 kita memiliki UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan Soedijarto memuat filosofi pendidikan yang memungkinkan sekolah dapat berperanan sebagai pusat pembudayaan dan mendudukkan guru untuk berperanan ikut “moulding the craracters and mind of the young generation”. Secara umum untuk menerjemahkan sekolah sebagai pusat pembudayaan dan membangun peradaban, maka posisi guru sangat strategis untuk memainkan peran dan tugas keprofesionalan untuk turut memodeling seluruh potensi peserta didik dari berbagai latar belakang, suku, ras, budaya dan agama peserta didik.
Hal tersebut di atas oleh Soedijarto dalam materi perkuliahan dapat dijelaskan sebagai “the learning proses” yaitu:
1. Guru harus memiliki kemampuan merencanakan pembelajaran (membuat SAP, GBPP dan sebagainya).
2. Guru harus memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran (konten, isi, materi).
3. Guru harus memiliki kemampuan management (pengelolaan kelas).
4. Guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi (memberikan penilaian)
5.Guru harus memiliki kemampuan mendiagnosis (membimbing, mendidik, mengarahkan, memetakan, memberikan resep terhadap kelemahan dan kelebihan para peserta didik).
5.Guru harus memiliki kemampuan mendiagnosis (membimbing, mendidik, mengarahkan, memetakan, memberikan resep terhadap kelemahan dan kelebihan para peserta didik).
Berangkat dari the learning proses tersebut di atas, diharapkan sekolah sebagai wahana proses pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa). iue-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar