Oleh: IHYA ULUMUDDIN EMGEE
(Guru MTs. ATTAQWA 16 Kota Bekasi, SMP.
Attaqwa Pusat Babelan
& Mahasiswa Pascasarjana UNINDRA
Jakarta)
Berbicara mengenai
perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya dari hal yang positif ke
negatif atau sebaliknya dari negatif ke positif. Namun itu semua tidak mudah,
tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan. Dalam konteks untuk
menemukan konsep pendidikan yang ideal, maka menjadi tanggung jawab moral bagi
setiap para pemikir muslim untuk membangun teorinya sebagai paradigma ilmu
pendidikan. Islam memberikan banyak solusi dalam paradigma pendidikan. Dewasa
ini khususnya di Indonesia sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah
merupakan bentuk adopsi sistematik dari sistem pendidikan barat (sekuler) hal
tersebut sebagaimana merujuk menurut Ismail SM di
dalam bukunya “Paradigma Pendidikan Islam”.
Diantara peliknya
berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan
dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan Indonesia keluar dari peliknya
problematika kurikulum dan bullying terhadap anak, disini konsep pendidikan
menurut Islam hadir dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya
lalu-lintas perubahan intelektual dan ghazwul fikr, perang pemikiran terutama
antar barat dan timur (baca: Islam dan non-Islam). Berbicara tentang Pendidikan
di Indonesia atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim
pada abad XXI, baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih
menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Menurut Ismail SM.
(2001: 275), bahwa ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab
munculnya silang pemikiran tersebut yakni pertama, pendapat yang menyatakan
bahwa pendidikan di Indonesia dan pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan
baik sistem maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun
muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut
dianggap hanya bersifat penutup belaka. Dengan kata lain, melepaskan diri sama
sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal tidak mungkin. Harus diakui bahwa
sebagian besar negara Islam masih merupakan negara dunia ketiga (miskin atau
masih berkembang), yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari
kemajuan yang dicapai oleh negara-negara barat yang mau tidak mau jalur
tersebut harus dilalui oleh Negara Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa
kejayaan Islam yang merupakan pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif
cukup jarang dijumpai.
Jauh sebelum Sigmund
Freud, Erikson, Hurlock,Vygotski, Kohlberg, Jean Piaget, Blumm, ataupun
penulis-penulis barat memunculkan pemikirannya tentang perkembangan sosial,
bahasa, moral dan kognitif serta pendidikan anak, Al-Ghazali dan Ibnu Qayyim
telah lebih dahulu merumuskan tentang konsep pendidikan anak. Konsep pendidikan
mereka banyak mengilhami pemikiran-pemikiran para intelektual, praktisi pendidikan,
maupun cendekiawan muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Nurman Said
(1992: 87) menyatakan bahwa karya-karya Al-Ghazali memiliki pengaruh yang kuat
terhadap pendidikan di Indonesia khususnya di kalangan kaum
tradisionalis.
Para pemikir muslim,
baik pada periode klasik, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, al-Farabi
dan Ibnu Khaldun, begitu pula pada zaman modern semisal al-Tahthawi, Muhammad
Abduh, Islamil Raji al-Faruqi, yang banyak menulis pemikiran-pemikiran yang ada
kaintannya dengan pendidikan Islam. Namun demikian, oleh karena keterbatasan
kemampuan dan literatur, penulis tidak bermaksud untuk membahas keseluruhan
pemikiran bersama dengan nama-nama para tokoh di atas. Dengan tanpa mengurangi
nilai kontribusi mereka di bidang pendidikan, penulis hanya menuliskan beberapa
nama tokoh dengan pemikirannya baik yang termasuk pada zaman klasik maupun
modern. Dari dua era yang berbeda ini penulis kira dapat melihat trend
pemikiran pendidikan yang pernah dituangkan oleh para pemikir muslim dari zaman
ke zaman.
Penelitian terhadap
para pakar pendidikan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di dalam
maupun di luar negeri. Hasil penelitiannya dalam bentuk skripsi, tesis maupun
disertasi, bahkan telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Tokoh-tokoh
pendidikan Islam yang dijadikan obyek penelitian adalah ulama-ulama hadis,
fiqih, filsafat Islam dan tasawuf Islam. Akan tetapi belum banyak dilakukan
penelitian terhadap konsep pendidikan Ibnu Qayyim, seorang pembaharu yang hidup
di abad pertengahan.
Konsep kependidikannya banyak
dituangkan dalam buku-bukunya, tetapi di kalangan dunia pendidikan belum
mengenalnya sebagai tokoh pendidikan. Ia lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu
dalam bidang aqidah dan fiqih, diakui sebagai ahli tafsir, ahli usul fiqih, dan
ahli bahasa. Para ulama yang dikategorikan sebagai tokoh pendidikan yang hidup
sebelum Ibn Qayyim banyak jumlahnya. Mereka banyak sumbangannya dalam
pengembangan pemikiran pendidikan Islam. Diantara mereka ada yang menulis
buku-buku dan risalah-risalah khusus mengenai pendidikan (Hasan Langgulung,
1988:31).
Tarbiyah yang diserukan
oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan rambu-rambu dan
jalan/metode/manhajnya, bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber
dari kitabullah al-Qur’an al-Karim dan sunnah Nabi yang mulia. Ia adalah tarbiyah
yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu berinteraksi
dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang menjelaskan
tanggung jawab setiap lembaga sosial kemasyarakatan terhadap pendidikan.
Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah yang
membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki
karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang
tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu
dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan
memberi satu sama lainnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
merupakan tokoh pendidikan Islam dan sekaligus seorang Psikologis. Pemikirannya
tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak memberikan kontribusi yang
sangat besar bagi khazanah pendidikan Islam. Pokok utama pemikirannya tentang
psikologi dan pendidikan anak berangkat dari konsep praktis mendidik dan
membesarkan anak yang didasarkan pada dua hal: Pertama, bahwa anak-anak,
dengan kebutuhannya yang khas, berhak mendapat perhatian dan perawatan khusus,
Kedua, bahwa cara bayi dan anak-anak diperlakukan mempunyai pengaruh yang
panjang terhadap sifat fisik maupun psikologis mereka.
Sebagai pendapat
pembanding, Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menuliskan
bahwa pendidikan Islam pada fase ini meliputi empat hal, adalah (1) Pendidikan
kegamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan
dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha
Pemurah. Sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jaunya. (2)
Pendidikan akaliyah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari
segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu
kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Sedangkan mereka
dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan
banyak membaca dan meyelidiki serta memakai pena untuk mencatat. (3) Pendidikan
akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad Saw Mengajar sahabatnya agar berakhlak
baik sesuai dengan ajaran tauhid. (4) Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu
mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman/miliu. (Zuhairini ,
2000 : 18-50).
Kalau disederhanakan,
maka konsep mendidik anak menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah:
Pertama, faktor figur Bapak/Ayah.
Karena anak pasti akan mencontoh orang yang terdekatnya dahulu dan sering
bersamanya. Karena Bapak/Ayah adalah seorang
pembangun kestabilan mental. Karakter laki-laki yang lebih tahan banting secara
emosional, hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari keluarga. Laki-laki
harus diakui memiliki daya analisa yang tajam, sementara perempuan lebih
sensitif dan perasa. Dalam kondisi berat, seorang ayah lebih tahan banting.
Bapak/Ayah adalah seorang pembangun keberanian. Harus diakui bahwa laki-laki
memiliki adrenalin yang tinggi. Perempuan kalah jauh dalam hal ini. Seringkali Bapak/Ayah
memperlakukan sesuatu sampai pada batas sesaat sebelum batas akhir. Seorang
Bapak/Ayah masih dapat melempar-lempar anaknya ke atas dalam taraf yang
“terhitung” dan aman, padahal, seorang Ibu biasanya tidak berani melakukan hal
ini. Ini penting untuk membangun keberanian. Bapak/Ayah pemberi contoh
pemecahan masalah. Umumnya, laki-laki merupakan think-thank sebuah
organisasi (termasuk keluarga). Seringkali Bapak/Ayah memberikan solusi atas
hal yang seringkali dianggap tidak mungkin. Bapak/Ayah penentu standar
maskulinitas. Seorang Ayah yang baik dalam memperlakukan keluarga akan
menghasilkan anak yang tidak ringan tangan maupun ringan mulut. Bapak/Ayah
sebagai figur “kekuasaan” di rumah, dapat menjadi standar identifikasi
kekuasaan bagi anak, apakah kekuasaan itu dengan fisik, dengan ucapan yang
keras, dengan bahasa tubuh, dengan marah-marah, dengan ancaman, ataukah dengan
elegan. Bagi anak laki-laki itu sebagai standar tingkah laku maskulinitas
terhadap keluarganya kelak. Bagi anak perempuan, itu merupakan penentu standar
minimal dalam mencari pasangan. Bapak/Ayah pemberi warna dalam mengambil
keputusan. Semakin berumur, laki-laki akan semakin bijaksana dan arif.
Perkataan Bapak/Ayah terkadang lebih didengar daripada perkataan Ibunya.
Kedua, faktor figur Ibu/Bunda. Peran dan fungsi seorang Ibu adalah sebagai “tiang rumah tangga”
amatlah penting bagi terselenggaranya rumah tangga yang sakinah yaitu
keluarga yang sehat dan bahagia, karena di atas yang mengatur, membuat rumah
tangga menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling
menyayangi bagi suaminya. Untuk mencapai ketentraman dan kebahagian dalam
keluarga dibutuhkan isteri yang shaleh, yang dapat menjaga suami dan
anak-anaknya, serta dapat mengatur keadaan rumah sehingga tempat rapih,
menyenangkan, memikat hati seluruh anggota keluarga. Menurut Baqir Sharif
al-Qarashi (2003 : 64), bahwa para Ibu merupakan sekolah yang paling utama
dalam pembentukan kepribadian anak, serta saran, untuk memenuhi mereka dengan
berbagai sifat mulia, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. yang artinya: “Surga
di bawah telapak kaki Ibu”, menggambarkan tanggung jawab Ibu terhadap masa
depan anaknya. (Zakiyah Daradjat, 1995 : 50). Dari segi kejiwaan dan
kependidikan, sabda Nabi di atas ditunjukan kepada para orang tua khususnya
para Ibu, harus bekerja keras mendidik anak dan mengawasi tingkah laku mereka
dengan menanamkan dalam benak mereka berbagai perilaku terpuji serta
tujuan-tujuan mulia. Para ibu bertanggungjawab menyusun wilayah-wilayah mental
serta sosial dalam pencapaian kesempurnaan serta pertumbuhan anak yang benar.
Sejumlah kegagalan yang terjadi diakibatkan oleh pemisahan wanita dari
fungsi-fungsi dasar mereka. Ibu-ibu yang sering berada di luar rumah yang hanya
menyisakan sedikit waktu untuk suami serta anak-anak telah banyak menghilangkan
kebahagiaan anak, menghalangi anak dari merasakan nikmatnya kasih sayang Ibu,
sebab mereka menjalankan berbagai pekerjaan di luar serta meninggalkan anak
disebagian besar waktunya.
Ketiga, adalah faktor bacaan dan
tontonan. Televisi
dapat juga disebut sebagai sebuah keajaiban dalam dunia walaupun hanya
berbentuk sebuah kotak elektronik yang sederhana yang mampu secara efektif
berperan sebagai media massa dalam berbagai informasi dengan gambar
hidup, berwarna-warni dan bergerak. Sehingga dapat memikat, membius dan
menggiring seluruh perhatian para pemirsanya itulah sebabnya, sebagian besar
pemirsa menganggap bahwa informasi apa saja yang ditayangkan televisi adalah
benar, apa saja yang disajikan oleh televisi adalah baik. Sehingga mereka memutuskan
bahwa televisi merupakan satu-satunya sumber dan pusat informasi yang benar,
baik dan akurat, bahkan televisi dianggap sebagai guru yang wajib diturut dan
diikuti, alat yang paling efisien dan efektif untuk mengenal mempelajari dan
mendapatkan berbagai hal dalam hidup dan kehidupan ini ketimbang berbagai buku
bacaan yang dianggap menyita waktu.
Dari sekian banyak program acara yang disajikan
televisi, kebanyakan dapat mempengaruhi sikap penontonnya setelah atau pada
waktu melihat tayangan televisi. Banyak fakta yang kita jumpai dari informasi
yang disampaikan televisi, baik fakta positif maupun fakta negatif. Sehingga
hal ini baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi akhlak
penontonnya ke arah positif atau ke arah negatif. Sehingga ada dua pengaruh
tayangan televisi terhadap akhlak anak yaitu: 1). Pengaruh yang bersifat
positif
Televisi dapat memberikan pengaruh yang positif bagi para pemirsa yang menyaksikan program acara atau tayangan televisi. 2). Pengaruh yang bersifat negatif. Tayangan televisi tidak hanya memberikan pengaruh yang positif saja tetapi acara televisi lebih banyak memberikan pengaruh yang negatif kepada sikap para pemirsanya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga akan mempengaruhi akhlak penonton ke arah negatif. Adapun pengaruhnya tayangan televisi yang bersifat negatif sebagai berikut:
Televisi dapat memberikan pengaruh yang positif bagi para pemirsa yang menyaksikan program acara atau tayangan televisi. 2). Pengaruh yang bersifat negatif. Tayangan televisi tidak hanya memberikan pengaruh yang positif saja tetapi acara televisi lebih banyak memberikan pengaruh yang negatif kepada sikap para pemirsanya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga akan mempengaruhi akhlak penonton ke arah negatif. Adapun pengaruhnya tayangan televisi yang bersifat negatif sebagai berikut:
a.
Sering
menonton televisi akan melalaikan tugas dan kewajiban bagi para pemirsa
b.
Sering
menonton televisi akan mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar.
c.
Anak-anak
cenderung lebih menyukai tayangan yang bernuansakan kekerasan dan roman.
d.
Setelah
menonton tayangan televisi mereka suka meniru apa yang telah mereka tonton.
Manusia memanfaatkan televisi sebagai alat bantu yang
paling efisien dan efektif. Dimana kesemuanya ini dapat terwujud melalui
berbagai program dan tayangan televisi yang dapat dipertangung jawabkan secara
moral dan material.
Kebanyakan kegiatan menonton televisi cenderung
terencana dan bersifat tak sadar, tiap kali banyak orang mempunyai waktu luang,
mereka tiba-tiba saja duduk dihadapan televisinya tanpa diundang banyak niat
dan rencana yang tiba-tiba saja dibatalkan, lantaran tergoda, terpanggil,
tergelitik untuk menikmati acara tertentu yang disiarkan oleh televisi.
Televisi dengan mudah bisa melahap sebagian besar
waktu anak waktu yang dilewatkan di depan layar televisi berarti waktu yang
tidak di manfaatkan oleh anak untuk belajar membaca menggambar atau membantu
pekerjaan rumah tangga. Apabila tayangan televisi menyajikan acara hiburan atau
acara bernuansa kekerasan maka itu anak – anak cenderung menyukai dan
menggemari tayangan tersebut karena apa yang di lihat, di tonton di tayangan
televisi biasanya anak – anak cenderung akan menirunya tanpa disaring, di
filter dan tanpa dibarengi dengan sikap selektif dalam memilih acara yang di
sajikan, sehingga takut akan merusak akhlak anak terhadap pengaruh yang
ditayangkan oleh televisi oleh karena itu peran pendamping dan bimbingan oleh
orang tua kepada anaknya yang sedang menonton atau menikmati tayangan yang di
sajikan oleh pesawat televisi di rumah karena setiap harinya banyak anak – anak
menghabiskan waktu di depan pesawat televisi sehingga banyak tayangan atau
program acara yang dinikmatinya tanpa banyak memikirkan apakah layak di tonton
oleh anak – atau dapat merusak akhlak anaknya.
Keempat, adalah faktor
lingkungan/miliu. Faktor yang
membentuk karakter seorang anak adalah miliu yang sangat mempengaruhi akhlak
seseorang di samping faktor keturunan, dari faktor kedua ini faktor
pergaulan/lingkunganlah yang sangat kuat pengaruhnya atau sangat dominan
pengaruhnya dalam pembentukan karakter atau akhlak. Seperti orang tua dahulu
bilang siapa yang bergaul dengan jualan minyak wangi maka akan dapat wanginya
dan siapa yang bergaul dengan tukang las maka akan terkena percikan apinya.
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa teman itu bagaikan barang tambalan. “Teman itu bagaikan barang tambalan pada pakaianmu, maka lihatlah dengan apa kamu menambalnya.”
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa teman itu bagaikan barang tambalan. “Teman itu bagaikan barang tambalan pada pakaianmu, maka lihatlah dengan apa kamu menambalnya.”
Maksud hadits di atas, seseorang harus
mampu dengan mempergunakan akalnya di dalam mencari teman yang senantiasa
memberikan suatu kebaikan pada kita dalam hidup dan kehidupan.
Menurut seorang penyair Islam yang bernama
Syaufi dalam bait syairnya;
مَنْ اَسَرَ اْلأَسْرَفَ اَسَى مُشَرَفًاوَمُسَرَلأََنْجَلِ خَيْرُ مُشَرَفٍ اَوَلَمْ تَرَالْجَلْدَ الْعَفِّرَ مُغَبَلاً بِصَفْرٍ لَمَّاصَرَجِلْدَ الْمُسْحَقْ “Siapa yang berteman dengan orang mulia dia akan ikut mulia, siapa yang berteman dengan orang hina tidak akan ikut mulia. Tidakkah engkau lihat kata syufi betapa kulit kambing yang hina dicium orang ketika kambing berteman dengan al-qur’an) jadi kantong (Qur’an) tapi kulit kambing yang berteman dengan kayu (dijadikan bedug) tiap waktu sholat orang memukulnya.”
مَنْ اَسَرَ اْلأَسْرَفَ اَسَى مُشَرَفًاوَمُسَرَلأََنْجَلِ خَيْرُ مُشَرَفٍ اَوَلَمْ تَرَالْجَلْدَ الْعَفِّرَ مُغَبَلاً بِصَفْرٍ لَمَّاصَرَجِلْدَ الْمُسْحَقْ “Siapa yang berteman dengan orang mulia dia akan ikut mulia, siapa yang berteman dengan orang hina tidak akan ikut mulia. Tidakkah engkau lihat kata syufi betapa kulit kambing yang hina dicium orang ketika kambing berteman dengan al-qur’an) jadi kantong (Qur’an) tapi kulit kambing yang berteman dengan kayu (dijadikan bedug) tiap waktu sholat orang memukulnya.”
Kelima, inilah
faktor zaman now yang lagi booming di kalangan masyarakat Indonesia, tidak
hanya kepada orang dewasa saja. Akan tetapi justeru lebih digandrungi oleh anak-anak
kita sekarang ini, makhluk apakah itu. GADGET atau smartphone. Untuk
faktor yang kelima ini kita para orang tua dituntut untuk ekstra dan kudu tegas
terhadap anak untuk mengatakannya NO GADGET !!
The Palm Residence Gabus,
-AbuYami/IG:abuyami43-