SUKU MEMBAWA CINTA
Oleh: Annida Putriga Ulumuddin Rozak/
NPM: 10511945/Psikologi/UG
Kalimalang
Mataku
masih saja menikmati pemandangan yang indah sore itu. Hamparan sawah dan gunung
begitu menawan. Aku membuka sedikit kaca jendela mobil dengan keinginan
menghirup udara segar itu. Suamiku hanya menggeleng dan tersenyum manis melihat
tingkahku.
“Yanda, ternyata negeri kita indah ya.” Kataku dengan wajah
yang masih melihat ke arah jendela.
“Kita patut bersyukur Bun.” Singkat Suamiku menjawab.
Aku memang terbiasa dengan udara
yang sejuk karena aku lahir di desa, tepatnya di Kota Bandung. Tapi aku tiada
hentinya terus menikmati udara yang sejuk ketika aku dan suamiku berkunjung ke
arah puncak. Aku bersuku Sunda sedangkan suamiku bersuku Betawi. Kita memang berbeda
suku tetapi selagi bahasa yang kita gunakan sama, maka kami akan tetap
mempunyai prinsip yang sama.
“Negeri kita juga kaya Bun, kaya suku, kaya bahasa, kaya
rempah-rempah, kaya minyak bumi, dan lain-lain.” Ungkap suamiku.
“Aku bahagia Yanda bisa menjadi orang Indonesia.” Senyumku.
“Apa prinsip kita, Bun ?” tanya suamiku dengan senyum khas yang bisa aku tebak
apa maksudnya.
“Bhineka Tunggal Ika.” Ucap kami berbarengan.
Terkadang kami memang suka berbeda pendapat. Itu hal yang
biasa memang. Antara aku dengan suamiku tidak pernah memiliki keinginan yang
sama. Kami selalu berbeda. Itu bukan berarti tidak kami jadikan sebagai sebuah
kasih sayang. Justru karena perbedaan itu yang membuat kita memiliki prinsip
yang kuat, prinsip yang sering kali di kenali anak-anak tingkat Sekolah Dasar.
Bhineka Tunggal Ika, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Ah indah sekali
prinsip itu, bukan ?
***
Cukup lama kami berada di Puncak, untuk sedikit melegakan
pikiran. Sekitar 3 hari kami berlibur disana. Ketika pulang, tak lupa kami
membeli banyak sekali buah tangan atau yang sering disebut orang kampung itu
adalah oleh-oleh. Untuk membeli makanan pun terkadang kami memang selalu berbeda. Aku suka manis
karena Orang Sunda memang terkenal manis masakannya. Sedangkan suamiku lidahnya
adalah rasa pedas.
“Ini Bun, Keripik Kribo ini nih yang pedes.” Unjuk suamiku.
“Ih itu emping yang manis juga enak, Yanda.” Aku tak mau kalah mengunjuk
makanan yang aku suka.
“Ah kamu mah maunya manis terus sih Bun, rasain dong pedes. Makanan pedes itu
bisa ngilangin pusing loh, Bun.” Bujuk suamiku.
“Tetep aja aku kelojotan kalo makan yang pedes-pedes.” Aku mulai cemberut.
“Yaudah yaudah gimana kalo kita beli dua-duanya aja ya, yang pedes sama
yang manis jadi Yanda bisa ngerasain yang manis dan kamu bisa ngerasain yang pedes,
setuju?” Aku menganggukkan kepala tanda setuju dan kembali tersenyum ke arah
suamiku.
Selalu saja kami di benturkan dengan dua pilihan yang selalu
berbeda. Kebiasaan suku pun tidak mudah untuk dirubah. Lidahku yang biasa makan
manis, ketika makan yang pedes terasa aneh dan begitupun sebaliknya dengan
suamiku. Indonesia benar-benar kaya segalanya bahkan mulai dari hal yang kecil
yaitu masalah rasa. Perbedaan juga memberikan kita kesempatan untuk saling
menghargai dan mengasihi. Bahkan perbedaan bukan penghalang untuk mewujudkan
rasa cinta di hati kami. Selama kami masih memakai bahasa yang sama maka
prinsip kami pun akan tetap selamanya sama. Itu yang selalu aku ucap ketika aku
menyadari bahwa cinta yang tumbuh di hati kami itu adalah cinta yang
berdasarkan perbedaan suku.
***
“Bun, kamu tau gak kenapa kita bisa bersatu padahalkan kita terlahir
sebagai anak yang berbeda suku.” Pertanyaan suamiku mampu membuat aku tersendak
saat mengesup teh hangat di pagi hari.
“Pertanyaan Yanda tuh aneh yah, mau tau jawabannya apa ?” Aku balik bertanya.
“Apa ?”
“Karena takdir Tuhan Yanda, sekaligus ingin membuktikan bahwa meskipun kita berbeda tapi tugas
kita itu untuk saling menghargai dan melengkapi satu sama lain.” Jawabku sok
dewasa.
“Hahaha ternyata kamu udah pinter yah tanpa Yanda kasih tau.” Ledekan suamiku
membuat tatapan sinis dari mataku memancar ke arahnya.
“Yanda rese yah.” Aku mencubit lengan tangannya.
“Gak apa-apa Bun, biar seru dan jadi kita bisa tukar pikiran.”
“Bener gak sih Yan, kalo sifat itu terbentuk dari suku ?” Sekarang giliran aku yang bertanya.
“Ada yang berpendapat iya dan ada juga yang engga, tergantung dia
menyikapinya Bun, kalo yang kita tau biasanya orang Sunda teh lemah lembut kitu nya dan
kalo orang Betawi mah kalo ngomong yah udeh sekate-katenye aje tapi mungkin itu
karena memang faktor kebiasaan yang turun temurun.” Lengkap jawaban suamiku
sambil memperaktekkan logat bicara khas Sunda dan Betawi.
Indah sekali jika kita dapat memahami setiap suku yang ada di
Negeri Pertiwi ini. Namun terkadang perbedaan itu dijadikan perpecahan dan
permusuhan padahal saling melengkapi itu sangat menyenangkan. Kasus
sederhananya saja antara aku dengan suamiku yang berbeda suku, bahkan perbedaan
yang kami miliki sangat jauh. Sederhana saja, kami menumbuhkan rasa cinta di
hati kami hanya dengan rasa keyakinan bahwa kami bisa bersama walau berbeda.
Melewati mahligai rumah tangga itu tidak mudah, pasti ada ombak yang siap
menerjang sampai pada kami yang berbeda sukupun bukan hal yang mudah. Tapi kami
punya cinta yang bisa kami pupuk dihati. Dan sebisa mungkin kami menjaga
perbedaan itu dengan baik.
***
Ketika putra kami sudah beranjak SD, waktunya untuk sunat
(sebutan memotong alat kelamin untuk anak laki-laki). Kalau di adat istiadat
Sunda itu pasti ada Kuda Ronggeng untuk anak yang baru di sunat.
“Yan, kita nyewa Kuda Ronggeng yuk buat acara suanatan anak kita.” Katanya sambil menunggu
persetujuan suamiku.
“Buat apa sih Kuda Ronggeng. Di arak aja juga udah cukup Bun.” Protes tanda tidak setujunya
suamiku dengan adat Sunda yang biasa dilakukan saat ada acaran sunatan.
“Masa di arak doang sih Yan, biar ada hiburannya juga dong. Gimana sih, ngaku punya
istri orang Sunda tapi ngelaksanain adat Sunda aja gak mau. Huh.” Aku ngedumel sambil
berlalu meninggalkan suamiku.
“Bukan begitu Bunda, tapi karena sekarang kita adanya di lingkungan yang kebanyakn
Betawi jadi di arak aja yah.” Nada suara suamiku melunak dan mengikuti
langkahku yang mulai menjauh.
“Emang harus gitu yah, ketika kita ada di komunitas Betawi
semua terus kita juga harus mengikuti adatnya dengan kita melupakan adat yang
sudah ada dan terbentuk didiri kita, harus emang ?” Emosiku meledak karena aku fikir,
suamiku begitu egois dan selalu ingin di ikuti adatnya kebiasaan sukunya.
“Engga gitu juga Bunda, tapi lebih simpelnya di arak aja yah.” Suamiku masih
saja membujuk dengan bahasa yang begitu halus. Aku tetap saja diam dan mematung
bola mata tanda tidak setuju. Aku masih saja diam ketika jemari tangan suamiku
menggenggam jari-jariku.
“Yaudah ah terserah Yanda aja, tapi aku tetap akan memanggil Kuda ronggeng untuk mengisi acara sunatan.”
Kataku sambil berlalu meninggalkan suamiku.
Begitulah sekiranya ketika kami berbeda pendapat. Memang
terkesan meributkan hal yang sepele. Namun lagi dan lagi
mempermasalahkan perbedaan suku sehingga kamipun memiliki adat istiadat yang
berbeda. Kadang pula kami tidak ada yang mengalah. Selalu membela suku
masing-masing yang sejak lahir sudah mendarah daging dalam jiwa. Kami jadikan
semua perbedaan itu adalah simbolis bahwa Tuhan menciptakan kita semua dengan
berbeda. Tidak akan ada orang Sunda jika semua makhluk di dunia ini bersuku
Betawi dan begitupun sebaliknya, tidak akan ada orang Betawi jika semua makhluk
di dunia ini bersuku Sunda. Dan selamanya akan terus seperti itu.
“Pada intinya apapun bentuk adat istiadatnya, doa untuk anak kita jangan
sampai putus Bun, semoga kelak ia bisa menjadi pemimpin yang cinta persaudaraan serta
perdamaian.” Ucap suamiku.
“Iya Yanda tapi kan alangkah lebih bagusnya lagi jika kita menyelipkan sedikit
adat kita masing-masing di acaran sunatan anak kita.” Aku masih saja keukeuh.
“Iya iya iya Bunda.” Akhirnya suamiku melunak saat aku besikap keukeuh.
***
Catatan penting yang selalu kami bawa ketika perbedaan itu
muncul yaitu dengan mengingat bahwa Negeri kita ini pun merdeka karena adanya
perbedaan. Jadi kami selalu simpulkan bahwa dari sisi perbedaanlah kita bisa
meraih apa yang kita harapkan. Tentu dengan saling menghargai dan melengkapi
satu sama lain. Indahnya jika semua suku memahami hakikat perbedaan yang dimiliki.
“Makanya, elu kudu berterimakasih tuh sama orang-orang nyeng telah
membebaskan kita dari jajahan Negeri Belanda. Kalo kagak ada orang-orang dulu nyeng berjasa, kite gak akan setentrem sekarang.” Ucap suamiku mengikuti logat babeh
katanya.
“Iya Yanda, aku jadi penasaran banget tuh sama semua suku di Negeri kita.” Timpalku
“Belajar sejarah gih sana Bun kalo penasaran mah.”
“Ih Yanda, tau sejarah sama suku-suku kan beda pelajarannya.”
“Masa sih beda ?” Suamiku belaga engga tau.
“Aku jadi penasaran banget pengen tau suku-suku lain yang ada di Negeri kita ini, seru kali yah Yanda kalo kita mengerti semua suku.”
“Jangan cuma sukunya saja yang di hafalin tapi adat istiadatnya juga di pelajari serta bahasa
kemudian watak-wataknya juga.”
“Hahaha… itu
mah sekalian semuanya aja, Yanda.” Kataku
“Lah engga apa-apa Bun, itung-itung nambah wawasan dan pengetahuan, yah gak ?” Ucap suamiku sambil melipat koran yang
baru saja dibacanya.
“Bunda mau tau gak ?” Tanya suamiku lagi.
“Apaan ?” Jawabku.
“Bunda bisa nyanyi lagu-lagu Sunda gak ?”
“Bisa dong.” Jawabku mantab.
“Coba nyanyi sekarang 3 lagu.” Tantang suamiku.
“Tapi nanti gantian yah, abis aku yang nyanyi baru Yanda yang nyanyi yah.” Tawarku.
“Oke, siapa takut.” Ucap suamiku sambil melipatkan kedua tangannya dan
menatap tajam ke arahku. Seru sekali jika kami sedang bernyanyi lagu daerah
masing-masing. Kadang juga, anak kami tertawa sambil ikut bernyanyi meski
terbata-bata. Sungguh perbedaan itu indah.
“Ih Bunda nyanyi bahasa apaan sih ?” tawa suamiku saat aku menyanyi lagu Sunda.
“Ini bahasa Sunda tau, mana coba Yanda yang nyanyi lagu daerahnya.”
“Yah bahasa Betawi mah kagak aneh-aneh Bun, dia tetap Indonesia latin hanya
logatnya aje nyeng beda.” Suamiku mulai menggunakan logat Betawinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar