Suara Bocah Bekasi

Kamis, 22 Maret 2018

EMPAT POLA PENDIDIKAN DALAM ISLAM : dalam Persfektif Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

Oleh: IHYA ULUMUDDIN EMGEE
(Guru MTs. ATTAQWA 16 Kota Bekasi, SMP. Attaqwa Pusat Babelan
& Mahasiswa Pascasarjana UNINDRA Jakarta)

Berbicara mengenai perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya dari hal yang positif ke negatif atau sebaliknya dari negatif ke positif. Namun itu semua tidak mudah, tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan. Dalam konteks untuk menemukan konsep pendidikan yang ideal, maka menjadi tanggung jawab moral bagi setiap para pemikir muslim untuk membangun teorinya sebagai paradigma ilmu pendidikan. Islam memberikan banyak solusi dalam paradigma pendidikan. Dewasa ini khususnya di Indonesia sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari sistem pendidikan barat (sekuler) hal tersebut sebagaimana merujuk menurut Ismail SM di dalam bukunya “Paradigma Pendidikan Islam”.
Diantara peliknya berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan Indonesia keluar dari peliknya problematika kurikulum dan bullying terhadap anak, disini konsep pendidikan menurut Islam hadir dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan ghazwul fikr, perang pemikiran terutama antar barat dan timur (baca: Islam dan non-Islam). Berbicara tentang Pendidikan di Indonesia atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI, baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Menurut Ismail SM. (2001: 275), bahwa ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut yakni pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia dan pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan baik sistem maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat penutup belaka. Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal tidak mungkin. Harus diakui bahwa sebagian besar negara Islam masih merupakan negara dunia ketiga (miskin atau masih berkembang), yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh negara-negara barat yang mau tidak mau jalur tersebut harus dilalui oleh Negara Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai.
Jauh sebelum Sigmund Freud, Erikson, Hurlock,Vygotski, Kohlberg, Jean Piaget, Blumm, ataupun penulis-penulis barat memunculkan pemikirannya tentang perkembangan sosial, bahasa, moral dan kognitif serta pendidikan anak, Al-Ghazali dan Ibnu Qayyim telah lebih dahulu merumuskan tentang konsep pendidikan anak. Konsep pendidikan mereka banyak mengilhami pemikiran-pemikiran para intelektual, praktisi pendidikan, maupun cendekiawan muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Nurman Said (1992: 87) menyatakan bahwa karya-karya Al-Ghazali memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidikan di Indonesia khususnya di kalangan kaum tradisionalis. 
Para pemikir muslim, baik pada periode klasik, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, al-Farabi dan Ibnu Khaldun, begitu pula pada zaman modern semisal al-Tahthawi, Muhammad Abduh, Islamil Raji al-Faruqi, yang banyak menulis pemikiran-pemikiran yang ada kaintannya dengan pendidikan Islam. Namun demikian, oleh karena keterbatasan kemampuan dan literatur, penulis tidak bermaksud untuk membahas keseluruhan pemikiran bersama dengan nama-nama para tokoh di atas. Dengan tanpa mengurangi nilai kontribusi mereka di bidang pendidikan, penulis hanya menuliskan beberapa nama tokoh dengan pemikirannya baik yang termasuk pada zaman klasik maupun modern. Dari dua era yang berbeda ini penulis kira dapat melihat trend pemikiran pendidikan yang pernah dituangkan oleh para pemikir muslim dari zaman ke zaman.
Penelitian terhadap para pakar pendidikan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di dalam maupun di luar negeri. Hasil penelitiannya dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, bahkan telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Tokoh-tokoh pendidikan Islam yang dijadikan obyek penelitian adalah ulama-ulama hadis, fiqih, filsafat Islam dan tasawuf Islam. Akan tetapi belum banyak dilakukan penelitian terhadap konsep pendidikan Ibnu Qayyim, seorang pembaharu yang hidup di abad pertengahan.
Konsep kependidikannya banyak dituangkan dalam buku-bukunya, tetapi di kalangan dunia pendidikan belum mengenalnya sebagai tokoh pendidikan. Ia lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam bidang aqidah dan fiqih, diakui sebagai ahli tafsir, ahli usul fiqih, dan ahli bahasa. Para ulama yang dikategorikan sebagai tokoh pendidikan yang hidup sebelum Ibn Qayyim banyak jumlahnya. Mereka banyak sumbangannya dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam. Diantara mereka ada yang menulis buku-buku dan risalah-risalah khusus mengenai pendidikan (Hasan Langgulung, 1988:31).
Tarbiyah yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan rambu-rambu dan jalan/metode/manhajnya, bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber dari kitabullah al-Qur’an al-Karim dan sunnah Nabi yang mulia. Ia adalah tarbiyah yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu berinteraksi dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang menjelaskan tanggung jawab setiap lembaga sosial kemasyarakatan terhadap pendidikan. Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan memberi satu sama lainnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan tokoh pendidikan Islam dan sekaligus seorang Psikologis. Pemikirannya tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi khazanah pendidikan Islam. Pokok utama pemikirannya tentang psikologi dan pendidikan anak berangkat dari konsep praktis mendidik dan membesarkan anak yang didasarkan pada dua hal: Pertama, bahwa anak-anak, dengan kebutuhannya yang khas, berhak mendapat perhatian dan perawatan khusus, Kedua, bahwa cara bayi dan anak-anak diperlakukan mempunyai pengaruh yang panjang terhadap sifat fisik maupun psikologis mereka.
Sebagai pendapat pembanding, Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menuliskan bahwa pendidikan Islam pada fase ini meliputi empat hal, adalah (1) Pendidikan kegamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah. Sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jaunya. (2) Pendidikan akaliyah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Sedangkan mereka dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan banyak membaca dan meyelidiki serta memakai pena untuk mencatat. (3) Pendidikan akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad Saw Mengajar sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid. (4) Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman/miliu. (Zuhairini , 2000 : 18-50).
Kalau disederhanakan, maka konsep mendidik anak menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah:
Pertama, faktor figur Bapak/Ayah. Karena anak pasti akan mencontoh orang yang terdekatnya dahulu dan sering bersamanya. Karena Bapak/Ayah adalah seorang pembangun kestabilan mental. Karakter laki-laki yang lebih tahan banting secara emosional, hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari keluarga. Laki-laki harus diakui memiliki daya analisa yang tajam, sementara perempuan lebih sensitif dan perasa. Dalam kondisi berat, seorang ayah lebih tahan banting. Bapak/Ayah adalah seorang pembangun keberanian. Harus diakui bahwa laki-laki memiliki adrenalin yang tinggi. Perempuan kalah jauh dalam hal ini. Seringkali Bapak/Ayah memperlakukan sesuatu sampai pada batas sesaat sebelum batas akhir. Seorang Bapak/Ayah masih dapat melempar-lempar anaknya ke atas dalam taraf yang “terhitung” dan aman, padahal, seorang Ibu biasanya tidak berani melakukan hal ini. Ini penting untuk membangun keberanian. Bapak/Ayah pemberi contoh pemecahan masalah. Umumnya, laki-laki merupakan think-thank sebuah organisasi (termasuk keluarga). Seringkali Bapak/Ayah memberikan solusi atas hal yang seringkali dianggap tidak mungkin. Bapak/Ayah penentu standar maskulinitas. Seorang Ayah yang baik dalam memperlakukan keluarga akan menghasilkan anak yang tidak ringan tangan maupun ringan mulut. Bapak/Ayah sebagai figur “kekuasaan” di rumah, dapat menjadi standar identifikasi kekuasaan bagi anak, apakah kekuasaan itu dengan fisik, dengan ucapan yang keras, dengan bahasa tubuh, dengan marah-marah, dengan ancaman, ataukah dengan elegan. Bagi anak laki-laki itu sebagai standar tingkah laku maskulinitas terhadap keluarganya kelak. Bagi anak perempuan, itu merupakan penentu standar minimal dalam mencari pasangan. Bapak/Ayah pemberi warna dalam mengambil keputusan. Semakin berumur, laki-laki akan semakin bijaksana dan arif. Perkataan Bapak/Ayah terkadang lebih didengar daripada perkataan Ibunya.
Kedua, faktor figur Ibu/Bunda. Peran dan fungsi seorang Ibu adalah sebagaitiang rumah tanggaamatlah penting bagi terselenggaranya rumah tangga yang sakinah yaitu keluarga yang sehat dan bahagia, karena di atas yang mengatur, membuat rumah tangga menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi bagi suaminya. Untuk mencapai ketentraman dan kebahagian dalam keluarga dibutuhkan isteri yang shaleh, yang dapat menjaga suami dan anak-anaknya, serta dapat mengatur keadaan rumah sehingga tempat rapih, menyenangkan, memikat hati seluruh anggota keluarga. Menurut Baqir Sharif al-Qarashi (2003 : 64), bahwa para Ibu merupakan sekolah yang paling utama dalam pembentukan kepribadian anak, serta saran, untuk memenuhi mereka dengan berbagai sifat mulia, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. yang artinya: “Surga di bawah telapak kaki Ibu”, menggambarkan tanggung jawab Ibu terhadap masa depan anaknya. (Zakiyah Daradjat, 1995 : 50). Dari segi kejiwaan dan kependidikan, sabda Nabi di atas ditunjukan kepada para orang tua khususnya para Ibu, harus bekerja keras mendidik anak dan mengawasi tingkah laku mereka dengan menanamkan dalam benak mereka berbagai perilaku terpuji serta tujuan-tujuan mulia. Para ibu bertanggungjawab menyusun wilayah-wilayah mental serta sosial dalam pencapaian kesempurnaan serta pertumbuhan anak yang benar. Sejumlah kegagalan yang terjadi diakibatkan oleh pemisahan wanita dari fungsi-fungsi dasar mereka. Ibu-ibu yang sering berada di luar rumah yang hanya menyisakan sedikit waktu untuk suami serta anak-anak telah banyak menghilangkan kebahagiaan anak, menghalangi anak dari merasakan nikmatnya kasih sayang Ibu, sebab mereka menjalankan berbagai pekerjaan di luar serta meninggalkan anak disebagian besar waktunya.
Ketiga, adalah faktor bacaan dan tontonan.  Televisi dapat juga disebut sebagai sebuah keajaiban dalam dunia walaupun hanya berbentuk sebuah kotak elektronik yang sederhana yang mampu secara efektif berperan sebagai media massa dalam berbagai informasi dengan gambar hidup, berwarna-warni dan bergerak. Sehingga dapat memikat, membius dan menggiring seluruh perhatian para pemirsanya itulah sebabnya, sebagian besar pemirsa menganggap bahwa informasi apa saja yang ditayangkan televisi adalah benar, apa saja yang disajikan oleh televisi adalah baik. Sehingga mereka memutuskan bahwa televisi merupakan satu-satunya sumber dan pusat informasi yang benar, baik dan akurat, bahkan televisi dianggap sebagai guru yang wajib diturut dan diikuti, alat yang paling efisien dan efektif untuk mengenal mempelajari dan mendapatkan berbagai hal dalam hidup dan kehidupan ini ketimbang berbagai buku bacaan yang dianggap menyita waktu.
 Dari sekian banyak program acara yang disajikan televisi, kebanyakan dapat mempengaruhi sikap penontonnya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi. Banyak fakta yang kita jumpai dari informasi yang disampaikan televisi, baik fakta positif maupun fakta negatif. Sehingga hal ini baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi akhlak penontonnya ke arah positif atau ke arah negatif. Sehingga ada dua pengaruh tayangan televisi terhadap akhlak anak yaitu:  1). Pengaruh yang bersifat positif
Televisi dapat memberikan pengaruh yang positif bagi para pemirsa yang menyaksikan program acara atau tayangan televisi. 
2). Pengaruh yang bersifat negatif. Tayangan televisi tidak hanya memberikan pengaruh yang positif saja tetapi acara televisi lebih banyak memberikan pengaruh yang negatif kepada sikap para pemirsanya setelah atau pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga akan mempengaruhi akhlak penonton ke arah negatif. Adapun pengaruhnya tayangan televisi yang bersifat negatif sebagai berikut: 
a.    Sering menonton televisi akan melalaikan tugas dan kewajiban bagi para pemirsa 
b.   Sering menonton televisi akan mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar. 
c.    Anak-anak cenderung lebih menyukai tayangan yang bernuansakan kekerasan dan roman.
d.   Setelah menonton tayangan televisi mereka suka meniru apa yang telah mereka tonton.
Manusia memanfaatkan televisi sebagai alat bantu yang paling efisien dan efektif. Dimana kesemuanya ini dapat terwujud melalui berbagai program dan tayangan televisi yang dapat dipertangung jawabkan secara moral dan material. 
Kebanyakan kegiatan menonton televisi cenderung terencana dan bersifat tak sadar, tiap kali banyak orang mempunyai waktu luang, mereka tiba-tiba saja duduk dihadapan televisinya tanpa diundang banyak niat dan rencana yang tiba-tiba saja dibatalkan, lantaran tergoda, terpanggil, tergelitik untuk menikmati acara tertentu yang disiarkan oleh televisi. 
Televisi dengan mudah bisa melahap sebagian besar waktu anak waktu yang dilewatkan di depan layar televisi berarti waktu yang tidak di manfaatkan oleh anak untuk belajar membaca menggambar atau membantu pekerjaan rumah tangga. Apabila tayangan televisi menyajikan acara hiburan atau acara bernuansa kekerasan maka itu anak – anak cenderung menyukai dan menggemari tayangan tersebut karena apa yang di lihat, di tonton di tayangan televisi biasanya anak – anak cenderung akan menirunya tanpa disaring, di filter dan tanpa dibarengi dengan sikap selektif dalam memilih acara yang di sajikan, sehingga takut akan merusak akhlak anak terhadap pengaruh yang ditayangkan oleh televisi oleh karena itu peran pendamping dan bimbingan oleh orang tua kepada anaknya yang sedang menonton atau menikmati tayangan yang di sajikan oleh pesawat televisi di rumah karena setiap harinya banyak anak – anak menghabiskan waktu di depan pesawat televisi sehingga banyak tayangan atau program acara yang dinikmatinya tanpa banyak memikirkan apakah layak di tonton oleh anak – atau dapat merusak akhlak anaknya. 
Keempat, adalah faktor lingkungan/miliu. Faktor yang membentuk karakter seorang anak adalah miliu yang sangat mempengaruhi akhlak seseorang di samping faktor keturunan, dari faktor kedua ini faktor pergaulan/lingkunganlah yang sangat kuat pengaruhnya atau sangat dominan pengaruhnya dalam pembentukan karakter atau akhlak. Seperti orang tua dahulu bilang siapa yang bergaul dengan jualan minyak wangi maka akan dapat wanginya dan siapa yang bergaul dengan tukang las maka akan terkena percikan apinya. 
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa teman itu bagaikan barang tambalan.  “Teman itu bagaikan barang tambalan pada pakaianmu, maka lihatlah dengan apa kamu menambalnya.”
Maksud hadits di atas, seseorang harus mampu dengan mempergunakan akalnya di dalam mencari teman yang senantiasa memberikan suatu kebaikan pada kita dalam hidup dan kehidupan. 
Menurut seorang penyair Islam yang bernama Syaufi dalam bait syairnya; 
مَنْ اَسَرَ اْلأَسْرَفَ اَسَى مُشَرَفًاوَمُسَرَلأََنْجَلِ خَيْرُ مُشَرَفٍ اَوَلَمْ تَرَالْجَلْدَ الْعَفِّرَ مُغَبَلاً بِصَفْرٍ لَمَّاصَرَجِلْدَ الْمُسْحَقْ “Siapa yang berteman dengan orang mulia dia akan ikut mulia, siapa yang berteman dengan orang hina tidak akan ikut mulia. Tidakkah engkau lihat kata syufi betapa kulit kambing yang hina dicium orang ketika kambing berteman dengan al-qur’an) jadi kantong (Qur’an) tapi kulit kambing yang berteman dengan kayu (dijadikan bedug) tiap waktu sholat orang memukulnya.”
Kelima, inilah faktor zaman now yang lagi booming di kalangan masyarakat Indonesia, tidak hanya kepada orang dewasa saja. Akan tetapi justeru lebih digandrungi oleh anak-anak kita sekarang ini, makhluk apakah itu. GADGET atau smartphone. Untuk faktor yang kelima ini kita para orang tua dituntut untuk ekstra dan kudu tegas terhadap anak untuk mengatakannya NO GADGET !!

The Palm Residence Gabus,

-AbuYami/IG:abuyami43-